Jumat, 24 Mei 2013

Santri Kecil di Pesantren Besar

Standard





Ahmad Ubaydillah, anak pertama dari enam bersaudara. Lahir dari pasangan yang pertama kali bertemu di Pesantren Al-Muayyad Solo, membuatnya seolah-olah adalah warga Solo. Ubay tidak lahir di Solo, KTP-nya pun juga bukan KTP Solo. Ia lahir di lereng Merapi, dan dibesarkan di perbatasan kabupaten Klaten dan kabupaten Boyolali. 


Sejak kecil, Ubay seringkali diajak ayahnya bermain-main di bus tingkat yang mengantarkan mereka ke Al-Muayyad, Pesantren salaf yang ada di tengah kota itu. Guru-guru Al-Muayyad banyak yang suka jika Ubay ikut serta ayahnya saat mengajar. Mereka bisa mencubit pipinya yang cemokot itu dengan girang. Udara yang keluar dari pohon sukun di tengah-tengah Al-Muayyad itu telah banyak memberikan nafas-nafas penuh pengajaran. 

Setamat Sekolah Dasar selesai Ubay sunatan, ia begitu senang ketika ayahnya mengantarkannya ke Al-Muayyad lagi. Kali ini bukan untuk mengajaknya bermain air di kobokan tempat santri berwudlu, bukan juga untuk membelikan Ubay semangkuk Garang Asem di warung Mbok Maksum yang nangkring di tengah halaman Al-Muayyad, juga bukan untuk membiarkan Ubay bergurau dengan santri-santri yang menjaganya saat ia naik turun tangga berpuluh kali, tetapi untuk mendaftarkannya di Sekolah Menengah Pertama Al-Muayyad.

Di SMP Al-Muayyad, Ubay yang telah banyak mengenal seluk beluk pondok saat kecil, cepat menyesuaikan dengan lingkungan tersebut. Ia tidak pernah menangis karena rindu pada ayah ibunya seperti yang dilakukan kebanyakan kawan-kawannya saat itu. Bagaimana ia bisa kangen pada ayahnya yang setiap pagi menyambanginya di kantor guru tempat ia belajar?

Banyak prestasi yang diraih Ubay ketika masa SMP. Ia berulang kali menjadi juara kelas. Tak sedikit lomba-lomba yang mengamanahkannya untuk mewakili sekolahnya. Ubay juga aktif di organisasi IPMA (Ikatan Pelajar Madrasah Al-Muayyad). Raihan itu sangat membanggakan untuk orang tuanya ketika itu. Akan tetapi, kestabilan Ubay saat itu membuatnya sedikit bosan dalam menjalaninya. 

 Sebelum lulus SMP, Ubay banyak berubah. Ia mulai jarang shalat berjamaah di masjid seperti rutinitas yang ia lakukan sebelumnya. Ia juga mengabaikan banyak peraturan pondok. Bahkan, sekali ia pernah menjadi pemberitaan di salah satu surat kabar daerah karena ulahnya yang nekat membohongi polisi (lihat: SALA). Ayahnya begitu murka ketika pertama kali tahu jika Ubay sudah mulai berani merokok. 

Langkah baru untuk menuju hidup baru. Mungkin banyak orang yang sepakat dengan ungkapan tersebut, tetapi tidak dengan Ubay. Saat ia mulai duduk di bangku Sekolah Menengah Atas, ia tetap belum berubah dari saat ia SMP. Ia tetap memanjat pintu gerbang untuk alasan yang tak penting. Hari-harinya, tak ia gunakan untuk untuk masuk kelas dan muthalaah, tetapi ia sering keluar untuk main Play Station atau sekedar nongkrong di taman kota saat malam. Ia tak banyak melakukan hal berguna saat SMA sampai saat ia terkejut saat nilai Ujian Akhir Matematikanya menjadi yang tertinggi di sekolah. Ubay lulus bukan dengan kesungguhannya, namun dengan barokah guru-guru yang mengajarnya.

Setelah lulus SMA, Ubay tak ingin melanjutkan pendidikannya ke bangku kuliah seperti kawan-kawannya ketika itu. Ia ingin meneruskan mondok atau bekerja, apapun itu. Ia masih punya lima adik kandung yang harus sekolah, dan ia anak pertama. Itu satu alasan banyak orang. Sampai akhirnya, Ubay nyasar di Jakarta. Ia mendapat beasiswa di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.

Di Jakarta, satu-satunya keluarga yang ia miliki adalah Alumni Al-Muayyad. Pertama kali ia sampai di Jakarta, ia langsung menuju ke sekretariat KAMAL Jabodetabek (Keluarga Alumni Ma’had Al-Muayyad Jabodetabek). Ia mulai dikenalkan dengan Alaskanan (kumpul rutin bulanan Kamal Jabodetabek), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (kebetulan teman satu kosnya adalah mabinkom komisariat), juga banyak hal. Ia mulai asik dengan dunia gerakan sosial.

Beberapa kali Ubay ikut agenda alaskanan, ia masih sangat lugu. Tak banyak yang ia kenal, dan tak banyak pula orang mengenalnya. Sampai saat bulan ke-6 ia ikut alaskanan, ia terpilih secara tidak sengaja menjadi ketua Kamal Jabodetabek. Ketua sebelumnya telah menikah. Menurut Anggaran Dasar Kamal, jabatan ketua adalah saat ia terpilih sampai saat ia menikah. Ubay sempat bertanya: Anggaran Dasar macam apa itu? 

Terpilihnya ia menjadi ketua, membuat ia terpanggil untuk menebus dosa yang telah ia lakukan saat ia masih di pondok dulu. Dibantu oleh kawan-kawannya, ia mulai dengan merencanakan berbagai program jangka pendek dan jangka panjang untuk keberlangsungan alumni dan pesantren.

Cita-cita Ubay, ia ingin memperbaiki pintu gerbang Al-Muayyad yang ia rusak saat ia memanjatnya ketika ingin membeli rokok saat tengah malam, ia ingin mengganti buku dari perpustakaan pondok yang ia gunakan sebagai bantal lalu hilang entah kemana, ia ingin mengembalikan gitik milik pengurus pondok yang ia ambil saat tengah malam supaya tak membangunkannya saat subuh, ia juga ingin meminta maaf pada seluruh guru-gurunya yang dulu kebingungan mencari keberadaannya. Ubay ingin membesarkan almamater yang telah membesarkannya.

*Gambar diambil dari salah satu foto di grup Facebook Al-Muayyad

3 komentar:

  1. harmoni kehidupan .. ala santri.

    BalasHapus
  2. kok bisa merokok dilingk sekolah pesantren ???????? anak bandeel nyusahin orang tua dan guru saja..dan bagaimana juga pengawasan pesantren ?????????

    BalasHapus
  3. Terharu... maju terus masa depan kamu masih panjang mas. Semoga apa yang menjadi khajatmu dapat ter qobul. Amin

    BalasHapus