Alkisah, di suatu negeri di ujung bumi, terdapat sebuah kerajaan yang dipimpin oleh seorang raja yang tak bertuhan. Dari permaisurinya satu-satunya, ia melahirkan seorang anak yang sekarang telah beranjak dewasa.
Suatu hari, sang pangeran yang bosan dengan kemewahan istana, ingin berjalan-jalan ke kampung. Tanpa ditemani pengawal kerajaan tentunya. Tercapailah keinginannya tersebut pada suatu sore.
Ketika pangeran keluar istana dengan menyamar menjadi rakyat biasa, ia bertemu banyak orang dengan profesi dan karakternya masing masing. Mulai dari penjual tomat di pinggiran pasar dengan jenggot yang lebih panjang daripada lengannya, pustakawan yang hobinya mencari kutu di dalam buku, hingga seorang pembuat sepatu dari kulit kacang.
Namun, ada satu yang menarik perhatiannya, adalah seorang bocah yang setengah badannya lumpuh. Bocah itu hanya hidup dengan separuh tubuhnya. Ia hanya bisa menggerakkan tangan kanan, sementara tangan kirinya tak bisa merasakan apa-apa. Begitu juga dengan kaki, hidung, juga jemari-jemarinya.
Ibu anak itu, yang hanya bekerja sebagai pengurus harian anaknya, punya banyak waktu untuk berinteraksi dengan putranya yang lumpuh separuh. Rutinitas sore mereka adalah belajar menulis. Anak itu sangat senang jika datang waktu sore. Ia menantikannya dengan melihat matahari yang pelan-pelan menguncup.
Yang menarik perhatian sang pangeran saat itu adalah cara yang digunakan seorang ibu untuk mengajari menulis anaknya yang lumpuh. Ibu itu tidak menyuruh menulis kepada anaknya. Tetapi memberikan contoh cara menulis yang baik. Sore itu, hanya ibunya yang menulis. Anak itu hanya melihat dan mengamatinya saja. Sang pangeran lalu pulang ke istana.
Hari kedua, sang ibu mulai mengajarkan kepada anaknya bagaimana caranya memegang pena. Ia menuntun tangan anaknya untuk menirukan gerakan tangan ibunya. Hari pertama, anak itu memenuhi bukunya dengan coretan-coretan abstrak. Mereka berdua menyelesaikan waktu belajar mereka tepat saat matahari terbenam. Lalu sang pangeran pulang dengan rasa penasaran.
Sore ketiga, dengan penuh tanda tanya, sang pangeran datang lagi ke rumah itu. Ia melihat anak dan ibunya masih belajar menulis. Kali ini, sang ibu membiarkan anaknya menulis sendiri apa yang ingin ia tulis. Anak itu sudah mulai lihai memegang pena. Tapi belum terlalu mahir dalam menulis. Anak itu menulis dengan tangannya sendiri tanpa dibimbing tangan ibunya. Ibunya tetap mengawasinya sambil sesekali membetulkan jika anaknya salah. Sang pangeran mulai mengerti.
Senja itu, sore ke empat. Sang pangeran kembali ke rumah itu. Ia mengintip dari kejauhan, ia mendapati si anak sudah tidak ditunggui ibunya lagi. Ibunya menyiapkan makan malam untuk keluarga mereka. Si anak, menulis sendirian. Ia menulis banyak hal waktu itu. Dari gambaran tentang sungai di bawah gunung yang tak pernah ia lihat, hingga hujan salju yang mematikan seluruh kota. Lalu tulisan itu ia sodorkan kepada ibunya setelah ibunya selesai memasak, beberapa waktu sebelum matahari terbenam. Kemudian ibunya mencoret beberapa kalimat yang menurutnya tak baik untuk ditulis. Anak itu hanya menunduk. Pangeran kemudian berlalu.
Hari keenam, saat sang pangeran menyambangi rumah itu, ia tak mendapati ibu dan anaknya sedang belajar menulis seperti biasanya. Lalu pangeran mencari ke seluruh penjuru kerajaan, itu tak membuahkan hasil. Bahkan, ia memerintahkan kepada pengawal kerajaan untuk mencari anak itu, namun tak ditemuinya juga.
Akhirnya, ia meminta kepada ayahnya, sang raja, untuk mengadakan sebuah sayembara. Sayembaranya adalah menulis. Barang siapa mampu membuat sang pangeran menangis karena tulisannya, maka ia akan diangkat sebagai keluarga kerajaan.
Esok paginya, segerombolan penulis handal dari berbagai daerah mengumpulkan tulisannya kepada pangeran. Sang pangeran membacanya satu persatu. Sampai pada satu tulisan, sang pangeran berhenti, bukan karena menangis, tapi karena pingsan. Tulisan itu begitu meremas paru-parunya, hingga ia harus berhenti bernafas sementara waktu, sampai ia pingsan. Tulisan itu adalah kumpulan syair yang dipetik dari Nadzam Alfiyah Ibn Malik.
**
Ibunya menangis menjadi-jadi.
image from: http://rizalyan.com/wp-content/uploads/2011/09/menulis-sebagai-penghidupan.gif
0 bacotan:
Posting Komentar