Juwita
StandardAku mulai terjatuh di gerbong kereta malam yang kutumpangi saat ini. Berselimutkan asap rokok yang telah kuhisap tiga menit yang lalu, aku tak mampu lagi menahan hasratku yang tiba-tiba saja bertamu tak tahu malu. Beralaskan kegelisahan-kegelisahan dari benak yang bergairah, aku bahkan tak mampu lagi mengalunkan nada-nada yang pelan sekalipun.
Daun-daun yang terus memandangiku, membuatku malu dengan pose telanjangku. Aku juga sangat muak dengan rerumputan yang terus memelototi kemaluanku bersama nafsunya yang ingin sekali menyetubuhiku. Aku merasa bahwa diriku sangat menyebalkan bagi tanah-tanah yang mereka tumpangi. Karena daun-daun dan rerumputan itu tak mau lagi bersetubuh dengan tanah-tanah itu. Tapi mereka ingin bersetubuh denganku. “Maaf Tanah!” ucapku pelan.
***
Perempuan itu tiba-tiba saja mendekatiku. Lalu ia mulai menghembuskan nafasnya ke lubang telingaku, mengenduskan nafas pelan yang membuat bulu-bulu di leherku meradang. Aku hanya tertegun, dan sesekali kupandang ia penuh harapan. Selanjutnya ia meremas jari-jari kusutku dengan pelan, mengusap-usapkan rambut panjangnya di dadaku. Mengingatkanku pada persetubuhan kucing-kucing tetangga yang sering bermain di jendela kamarku. Perempuan itu semakin teliti membasahi setiap inchi dari tubuhku, hingga ia mulai memperkosa tubuhku. Hingga keperawananku terkoyak.
***
Entah kenapa, tiba-tiba saja aku teringat dengan lagu yang sering dialunkan oleh Bimbim tentang kereta malam. Hingga ia kuberi nama Juwita. Dan dengan panggilan dariku tersebut, ia mulai berani memanggilku dengan nama Dewangga. Walau kurasa nama itu sangat asing di telingaku, tapi biarlah, toh kami sudah sangat puas dengan permainan kami malam ini. Aku bersetubuh dengannya di kereta yang kami tumpangi malam ini.
***
Suara gertakan roda kereta yang kami dengar, mengantarkan kami pada sebuah nyanyian yang lama sekali tak kunyanyikan. Aku bahkan hampir lupa dengan liriknya. Tapi kami saat ini mulai menyanyikannya, berdua di pintu gerbong yang terbuka, hingga suara kami langsung hilang ditelan angin malam. Ia sesekali memelukku pasrah, memandang wajahku penuh asa, lalu mengecup bibirku pelan.
“Dewangga, apa yang kau tahu tentang cinta?”
“Juwita, aku bahkan tak pernah mendengar kata cinta.”
“Dewangga, lantas kata apa yang pernah kau dengar?”
“Juwita, aku sering menjadi orator saat demo di kampus, aku sering menjadi motivator di aula, aku sering menjadi khatib di Masjid, bahkan aku sering menjadi pemandu sorak di festival tahunan sekolah dulu. Jadi aku sangat hafal dengan semua kata yang pernah ada. Tapi aku berani bersumpah, kalau aku tak pernah mendengar kata cinta.”
“Dewangga, lantas dengan kata apa aku harus menyatakan cintaku?”
“Juwita, aku saat ini sangat familiar dengan kata Mati.”
“Dewangga, haruskah aku menyatakan cinta dengan mengucapkan kata mati?”
“Entahlah.”
***
Udara malam ini membuat dadaku sesak tidak karuan. Sesekali udara itu masuk melalui lubang kiri hidungku, dan sesekali udara itu keluar melalui lubang kanan hidungku. Nada-nada dari nyanyian yang kami nyanyikan tadi sudah lenyap entah lari kemana. Yang kudengar hanya bunyi raungan sambungan gerbong yang meneriakkan sesuatu yang tak dimengerti oleh semua orang. Juga rintihanku yang menahan sedikit rasa sakit di leherku.
Otakku mulai dingin, mataku mulai rabun, hidungku mulai tersumbat, mulutku mulai menganga, tanganku mulai kaku, tubuhku mulai menggigil tak tentu. Aku mulai tak sadarkan diri. Tetapi satu hal yang saat ini kusadar, bahwa ia telah membunuhku.
“Terimakasih Juwita, telah mengenalkanku kata cinta”
“Terimakasih Juwita, memberiku kesempatan bersetubuh dengan tanah”
“Aku bahagia”
0 bacotan:
Posting Komentar