Jumat, 24 Mei 2013

Santri Kecil di Pesantren Besar

Standard





Ahmad Ubaydillah, anak pertama dari enam bersaudara. Lahir dari pasangan yang pertama kali bertemu di Pesantren Al-Muayyad Solo, membuatnya seolah-olah adalah warga Solo. Ubay tidak lahir di Solo, KTP-nya pun juga bukan KTP Solo. Ia lahir di lereng Merapi, dan dibesarkan di perbatasan kabupaten Klaten dan kabupaten Boyolali. 


Sejak kecil, Ubay seringkali diajak ayahnya bermain-main di bus tingkat yang mengantarkan mereka ke Al-Muayyad, Pesantren salaf yang ada di tengah kota itu. Guru-guru Al-Muayyad banyak yang suka jika Ubay ikut serta ayahnya saat mengajar. Mereka bisa mencubit pipinya yang cemokot itu dengan girang. Udara yang keluar dari pohon sukun di tengah-tengah Al-Muayyad itu telah banyak memberikan nafas-nafas penuh pengajaran. 

Setamat Sekolah Dasar selesai Ubay sunatan, ia begitu senang ketika ayahnya mengantarkannya ke Al-Muayyad lagi. Kali ini bukan untuk mengajaknya bermain air di kobokan tempat santri berwudlu, bukan juga untuk membelikan Ubay semangkuk Garang Asem di warung Mbok Maksum yang nangkring di tengah halaman Al-Muayyad, juga bukan untuk membiarkan Ubay bergurau dengan santri-santri yang menjaganya saat ia naik turun tangga berpuluh kali, tetapi untuk mendaftarkannya di Sekolah Menengah Pertama Al-Muayyad.

Di SMP Al-Muayyad, Ubay yang telah banyak mengenal seluk beluk pondok saat kecil, cepat menyesuaikan dengan lingkungan tersebut. Ia tidak pernah menangis karena rindu pada ayah ibunya seperti yang dilakukan kebanyakan kawan-kawannya saat itu. Bagaimana ia bisa kangen pada ayahnya yang setiap pagi menyambanginya di kantor guru tempat ia belajar?

Banyak prestasi yang diraih Ubay ketika masa SMP. Ia berulang kali menjadi juara kelas. Tak sedikit lomba-lomba yang mengamanahkannya untuk mewakili sekolahnya. Ubay juga aktif di organisasi IPMA (Ikatan Pelajar Madrasah Al-Muayyad). Raihan itu sangat membanggakan untuk orang tuanya ketika itu. Akan tetapi, kestabilan Ubay saat itu membuatnya sedikit bosan dalam menjalaninya. 

 Sebelum lulus SMP, Ubay banyak berubah. Ia mulai jarang shalat berjamaah di masjid seperti rutinitas yang ia lakukan sebelumnya. Ia juga mengabaikan banyak peraturan pondok. Bahkan, sekali ia pernah menjadi pemberitaan di salah satu surat kabar daerah karena ulahnya yang nekat membohongi polisi (lihat: SALA). Ayahnya begitu murka ketika pertama kali tahu jika Ubay sudah mulai berani merokok. 

Langkah baru untuk menuju hidup baru. Mungkin banyak orang yang sepakat dengan ungkapan tersebut, tetapi tidak dengan Ubay. Saat ia mulai duduk di bangku Sekolah Menengah Atas, ia tetap belum berubah dari saat ia SMP. Ia tetap memanjat pintu gerbang untuk alasan yang tak penting. Hari-harinya, tak ia gunakan untuk untuk masuk kelas dan muthalaah, tetapi ia sering keluar untuk main Play Station atau sekedar nongkrong di taman kota saat malam. Ia tak banyak melakukan hal berguna saat SMA sampai saat ia terkejut saat nilai Ujian Akhir Matematikanya menjadi yang tertinggi di sekolah. Ubay lulus bukan dengan kesungguhannya, namun dengan barokah guru-guru yang mengajarnya.

Setelah lulus SMA, Ubay tak ingin melanjutkan pendidikannya ke bangku kuliah seperti kawan-kawannya ketika itu. Ia ingin meneruskan mondok atau bekerja, apapun itu. Ia masih punya lima adik kandung yang harus sekolah, dan ia anak pertama. Itu satu alasan banyak orang. Sampai akhirnya, Ubay nyasar di Jakarta. Ia mendapat beasiswa di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.

Di Jakarta, satu-satunya keluarga yang ia miliki adalah Alumni Al-Muayyad. Pertama kali ia sampai di Jakarta, ia langsung menuju ke sekretariat KAMAL Jabodetabek (Keluarga Alumni Ma’had Al-Muayyad Jabodetabek). Ia mulai dikenalkan dengan Alaskanan (kumpul rutin bulanan Kamal Jabodetabek), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (kebetulan teman satu kosnya adalah mabinkom komisariat), juga banyak hal. Ia mulai asik dengan dunia gerakan sosial.

Beberapa kali Ubay ikut agenda alaskanan, ia masih sangat lugu. Tak banyak yang ia kenal, dan tak banyak pula orang mengenalnya. Sampai saat bulan ke-6 ia ikut alaskanan, ia terpilih secara tidak sengaja menjadi ketua Kamal Jabodetabek. Ketua sebelumnya telah menikah. Menurut Anggaran Dasar Kamal, jabatan ketua adalah saat ia terpilih sampai saat ia menikah. Ubay sempat bertanya: Anggaran Dasar macam apa itu? 

Terpilihnya ia menjadi ketua, membuat ia terpanggil untuk menebus dosa yang telah ia lakukan saat ia masih di pondok dulu. Dibantu oleh kawan-kawannya, ia mulai dengan merencanakan berbagai program jangka pendek dan jangka panjang untuk keberlangsungan alumni dan pesantren.

Cita-cita Ubay, ia ingin memperbaiki pintu gerbang Al-Muayyad yang ia rusak saat ia memanjatnya ketika ingin membeli rokok saat tengah malam, ia ingin mengganti buku dari perpustakaan pondok yang ia gunakan sebagai bantal lalu hilang entah kemana, ia ingin mengembalikan gitik milik pengurus pondok yang ia ambil saat tengah malam supaya tak membangunkannya saat subuh, ia juga ingin meminta maaf pada seluruh guru-gurunya yang dulu kebingungan mencari keberadaannya. Ubay ingin membesarkan almamater yang telah membesarkannya.

*Gambar diambil dari salah satu foto di grup Facebook Al-Muayyad

Kamis, 23 Mei 2013

Kidung Rumekso Ing Wengi karya Kanjeng Sunan Kalijaga

Standard
Kanjeng Sunan Kalijaga
Kanjeng Sunan Kalijaga

Kidung karya Sunan Kalijaga ini sudah terkenal sampai pelosok Nusantara. Di desa, kidung ini sering dinyanyikan saat pertunjukan ketoprak, wayang kulit, dan lain lain.
Inti laku pembacaan Kidung Rumekso Ing Wengi adalah agar kita senantiasa terhindar dari malapetaka. Dengan demikian kita dituntut untuk senantiasa berbakti, beriman dan taqwa kepada Allah SWT.
Adapun fungsi secara eksplisit tersuratnya antara lain:
1. Penyembuh segala macam penyakit.
2. Pembebas pageblug
3. Mempercepat jodoh bagi perawan tua.
4. Penolak bala yang datang di malam hari.
5. Menang dalam perang
6. Memperlancar cita-cita luhur.

Kidung Rumekso Ing Wengi

Ana kidung rumeksa ing wengi
Teguh hayu luputa ing Lara
Luputa bilahi kabeh
Jim setan datan purun
Paneluhan tan ana wani
Miwah panggawe ala
Gunaning wong luput
Geni atemahan tirta
Maling adoh tan ana ngarah ing mami
Guna duduk pan sirna
Sakehing lara pan samya bali
Sakeh ngama pan sami miruda
Welas asih pandulune
Sakehing braja luput
Kadi kapuk tibaning wesi
Sakehing wisa tawa
Sato galak tutut
Kayu aeng lemah sangar
Songing landhak guwaning wong lemah miring
Myang pakiponing merak
Pagupakaning warak sakalir
Nadyan arca myang segara asat
Temahan rahayu kabeh
Apan sarira ayu
Ingideran kang widadari
Rineksa malaekat
Sakathahing Rasul
Pan dadi sarira Tunggal
Ati Adam Utekku Baginda Esis
Pangucapku ya Musa
Napasku Nabi Ngisa linuwih
Nabi Yakup Pamiyarsaningwang
Yusup ing rupaku mangke
Nabi Dawud Suwaraku
Jeng Suleman kasekten mami
Nabi Ibrahim nyawaku
Edris ing Rambutku
Baginda Ngali kulitingwang
Getih daging Abubakar singgih
Balung Baginda Ngusman
Sungsumingsun Patimah linuwih
Siti Aminah Bayuning Angga
Ayup ing Ususku mangke
Nabi Nuh ing Jejantung
Nabi Yunus ing Otot mami
Netraku ya Muhammad
Pamuluku Rasul
Pinayungan Adam sarak
Sammpun pepak sakatahe para
Nabi dadya sarira Tunggal.
Wiji sawiji mulane dadi
Apan apencar dadiya sining jagad
Kasamadan dening Dzate
Kang maca kang angrungu
Kang anurat kang anyimpeni
Dadi ayuning badan
Kinarya sesembur
Yen winacakna toya
Kinarya dus rara gelis laki
Wong edan dadi waras
Lamun ana wong kadhendha kaki
Wong kabanda wong kabotan utang
Yogya wacanen den age
Nalika tengah dalu
Ping sawelas macanen singgih
Luwar saking kabanda
Kang kadhendha wurung
Aglis nuli sinauran mring hyang
Suksma kang utang puniku singgih
Kang agring nuli waras
Lamun arsa tulus nandur pari puwasaa sawengi sadina,
Iderana gelengane
Wacanen kidung iku
Sakeh ngama sami abali
Yen sira lunga perang
Wateken ing sekul
Antuka tigang pulukan
Musuhira rep sirep tan ana wani
Rahayu ing payudan
Sing sapa reke bisa nglakoni
Amutiya lawan anawaa
Patang puluh dina wae
Lan tangi wektu subuh
Lan den sabar sukuring ati
Insya Allah tinekan
Sakarsanireku
Tumrap sanak rakyatira
Saking sawabing ngelmu pangiket mami
Duk aneng Kalijaga.
(Serat Kidungn Warna-warni, Surakarta, Boedi Oetomo, 1919)

Terjemahannya:

Ada nyanyian yang menjaga di malam hari
Kukuh selamat terbebas dari penyakit
Terbebas dari semua malapetaka
Jin setan jahat pun tidak berkenan
Guna-guna pun tidak ada yang berani
Juga perbuatan jahat
Ilmu orang yang bersalah
Api dan juga air
Pencuri pun jauh tak ada yang menuju padaku
Guna-guna sakti pun lenyap
Semua penyakit pun bersama-sama kembali
Berbagai hama sama-sama habis
Dipandang dengan kasih sayang
Semua senjata lenyap
Seperti kapuk jatuhnya besi
Semua racun menjadi hambar
Binatang buas jinak
Kayu ajaib dan tanah angker
Lubang landak rumah manusia tanah miring
Dan tempat merak berkipu
Tempat tinggal semua badak
Walaupun arca dan lautan kering
Pada akhirnya, semua selamat
Semuanya sejahteqga
Dikelilingi bidadari
Dijaga oleh malaikat
Semua rasul
Menyatu menjadi berbadan tunggal
Hati Adam, otakku Baginda Sis
Bibirku Musa.
Napasku Nabi Isa As
Nabi Yakub mataku
Yusuf wajahku
Nabi Dawud suaraku
Nabi Sulaiman kesaktianku
Nabi Ibrahim nyawaku
Idris di rambutku
Baginda Ali kulitku
Darah daging Abu Bakar Umar
Tulang Baginda Utsman
Sumsumku Fatimah yang mulia
Siti Aminah kekuatan badanku
Ayub kin dalam ususku
Nabi Nuh di jantung
Nabi Yunus di ototku
Mataku Nabi Muhammad
Wajahku rasul
Dipayungi oleh syariat Adam
Sudah meliputi seluruh para nabi
Menjadi satu dalam tubuhku
Kejadian berasal dari biji yang satu
Kemudian berpencar ke seluruh dunia
Terimbas oleh zat-Nya
Yang membaca dan mendengarkan
Yang menyalin dan menyimpannya
Menjadi keselamatan badan
Sebagai sarana pengusir
Jika dibacakan alam air
Dipakai mandi perawan tua cepat bersuami
Orang gila cepat sembuh
Jika ada orang didenda cucuku
Atau orang yang terbelenggu keberatan hutang
Maka bacalah dengan segera
Di malam hari
Bacalah dengan sungguh-sungguh sebelas kali
Maka tidak akan jadi didenda
Segera terbayarkan oleh Tuhan
Karena Tuhanlah yang menjadikannya berhutang
Yang sakit segera sembuh
Jika ingin bagus menanam padi
Berpuasalah sehari semalam
Kelilingilah pematangnya
Bacalah nyanyian itu
Semua hama kembali
Jika engkau pergi berperang
Bacakan ke dalam nasi
Makanlah tiga suapan
Musuhmu tersihir tidak ada yang berani
Selamat di medan perang
Siapa saja yang dapat melaksanakan
Puasa mutih dan minum air putih
Selama empat puluh hari
Dan bangun waktu subuh
Bersabar dan bersyukur di hati
Insya Allah tercapai
Semua cita-citamu
Dan semua sanak keluargamu
Dari daya kekuatan seperti yang mengikatku
Ketika di Kalijaga.

*Dipetik dari buku Islam Kejawen karya Budiono Hadisutrisno terbitan Eula Book tahun 2009
Wallahu A'lam


Minggu, 19 Mei 2013

Belajar Menulis

Standard

Alkisah, di suatu negeri di ujung bumi, terdapat sebuah kerajaan yang dipimpin oleh seorang raja yang tak bertuhan. Dari permaisurinya satu-satunya, ia melahirkan seorang anak yang sekarang telah beranjak dewasa.

Suatu hari, sang pangeran yang bosan dengan kemewahan istana, ingin berjalan-jalan ke kampung. Tanpa ditemani pengawal kerajaan tentunya. Tercapailah keinginannya tersebut pada suatu sore.

Ketika pangeran keluar istana dengan menyamar menjadi rakyat biasa, ia bertemu banyak orang dengan profesi dan karakternya masing masing. Mulai dari penjual tomat di pinggiran pasar dengan jenggot yang lebih panjang daripada lengannya, pustakawan yang hobinya mencari kutu di dalam buku, hingga seorang pembuat sepatu dari kulit kacang.
Namun, ada satu yang menarik perhatiannya, adalah seorang bocah yang setengah badannya lumpuh. Bocah itu hanya hidup dengan separuh tubuhnya. Ia hanya bisa menggerakkan tangan kanan, sementara tangan kirinya tak bisa merasakan apa-apa. Begitu juga dengan kaki, hidung, juga jemari-jemarinya.

Ibu anak itu, yang hanya bekerja sebagai pengurus harian anaknya, punya banyak waktu untuk berinteraksi dengan putranya yang lumpuh separuh. Rutinitas sore mereka adalah belajar menulis. Anak itu sangat senang jika datang waktu sore. Ia menantikannya dengan melihat matahari yang pelan-pelan menguncup.

Yang menarik perhatian sang pangeran saat itu adalah cara yang digunakan seorang ibu untuk mengajari menulis anaknya yang lumpuh. Ibu itu tidak menyuruh menulis kepada anaknya. Tetapi memberikan contoh cara menulis yang baik. Sore itu, hanya ibunya yang menulis. Anak itu hanya melihat dan mengamatinya saja. Sang pangeran lalu pulang ke istana.

Hari kedua, sang ibu mulai mengajarkan kepada anaknya bagaimana caranya memegang pena. Ia menuntun tangan anaknya untuk menirukan gerakan tangan ibunya. Hari pertama, anak itu memenuhi bukunya dengan coretan-coretan abstrak. Mereka berdua menyelesaikan waktu belajar mereka tepat saat matahari terbenam. Lalu sang pangeran pulang dengan rasa penasaran.

Sore ketiga, dengan penuh tanda tanya, sang pangeran datang lagi ke rumah itu. Ia melihat anak dan ibunya masih belajar menulis. Kali ini, sang ibu membiarkan anaknya menulis sendiri apa yang ingin ia tulis. Anak itu sudah mulai lihai memegang pena. Tapi belum terlalu mahir dalam menulis. Anak itu menulis dengan tangannya sendiri tanpa dibimbing tangan ibunya. Ibunya tetap mengawasinya sambil sesekali membetulkan jika anaknya salah. Sang pangeran mulai mengerti.

Senja itu, sore ke empat. Sang pangeran kembali ke rumah itu. Ia mengintip dari kejauhan, ia mendapati si anak sudah tidak ditunggui ibunya lagi. Ibunya menyiapkan makan malam untuk keluarga mereka. Si anak, menulis sendirian. Ia menulis banyak hal waktu itu. Dari gambaran tentang sungai di bawah gunung yang tak pernah ia lihat, hingga hujan salju yang mematikan seluruh kota. Lalu tulisan itu ia sodorkan kepada ibunya setelah ibunya selesai memasak, beberapa waktu sebelum matahari terbenam. Kemudian ibunya mencoret beberapa kalimat yang menurutnya tak baik untuk ditulis. Anak itu hanya menunduk. Pangeran kemudian berlalu.

Hari keenam, saat sang pangeran menyambangi rumah itu, ia tak mendapati ibu dan anaknya sedang belajar menulis seperti biasanya. Lalu pangeran mencari ke seluruh penjuru kerajaan, itu tak membuahkan hasil. Bahkan, ia memerintahkan kepada pengawal kerajaan untuk mencari anak itu, namun tak ditemuinya juga.

Akhirnya, ia meminta kepada ayahnya, sang raja, untuk mengadakan sebuah sayembara. Sayembaranya adalah menulis. Barang siapa mampu membuat sang pangeran menangis karena tulisannya, maka ia akan diangkat sebagai keluarga kerajaan.

Esok paginya, segerombolan penulis handal dari berbagai daerah mengumpulkan tulisannya kepada pangeran. Sang pangeran membacanya satu persatu. Sampai pada satu tulisan, sang pangeran berhenti, bukan karena menangis, tapi karena pingsan. Tulisan itu begitu meremas paru-parunya, hingga ia harus berhenti bernafas sementara waktu, sampai ia pingsan. Tulisan itu adalah kumpulan syair yang dipetik dari Nadzam Alfiyah Ibn Malik.

**

Ibunya menangis menjadi-jadi.

image from: http://rizalyan.com/wp-content/uploads/2011/09/menulis-sebagai-penghidupan.gif

Sabtu, 18 Mei 2013

Cerita dari pojok .

Standard
Seseorang yang datang ke kosan saya. Ia datang bukan untuk meminta air minum seperti saat air galonnya habis. Bukan pula untuk meminta tolong membenarkan laptopnya yang sering melawak ketika disinggahi virus. Kepentingannya kali ini adalah datang dengan tanpa kepentingan.
Tanpa mengetuk pintu sebelumnya, ia masuk kamar begitu saja. Belum sempat ia duduk, ia sudah membuka percakapan dengan mengucap beberapa kata serapah. Tak lama kemudian, ia beralih dengan menceritakan bagaimana ketawadluan salah satu sahabatnya.
- Cuk, akhir-akhir ini, gue sering liat temen gue lebih demen diem di kosan daripada duduk-duduk di TIM. Lo tau ga dia ada masalah apa? -
- Dab, temen gue itu makin lama rambutnya makin panjang aja. Sampe dosennya melarang dia ikut UAS. Lu tau ga dia mau cukur kapan? -
- Kang, sejak bulan lalu, gue bingung sama kelakuan temen gue yang satu itu. Dia sering banget gigitin ujung bajunya kalo lagi diajak ngobrol sama orang. Lu tau ga dia beli baju di mana sih? -
- Bro, kemarin sore, gue juga liat, temen jalan kaki dari kosannya ke kampus, kaga liat ke depan sama sekali dia. Nunduk mulu kayak kucing kena ketapel bocah. Tawadlu banget sih dia. -
- Tawadlu matamu! Dia lagi nyariin puntung rokok bung! -

Selasa, 14 Mei 2013

Kuda Tanpa Pelana

Standard
Karyo tak bisa berbuat banyak hari ini. Ia terlalu lemah untuk menarik seutas tali yang ia kaitkan di leher Karsa. 
 ** 
Langit terlihat terlalu terik untuk beradaptasi. Angin di bulan Juni ini membawa segenggam duka dari timur. Tiupannya mampu membredeli daun-daun dari pohon randu yang sudah sebulan lebih tak mendapat siraman dari empunya. Seekor belalalang yang sedang mengerik di atasnya juga ikut gugur ke tanah. Belalang itu memaki kepada daun, lalu beberapa helai daun meneruskannya dengan menyumpah pada angin. Banyak sumpah serapah keluar dari mulut dan stomata mereka. Angin hanya melakukan tugas dari Mikail. 
Di bawah randu, Karyo sedang membereskan peralatan tukangnya. Ia baru saja menyelesaikan pekerjaannya, membuat delman. Ia hanya dibantu anak satu-satunya, Karla, kembang desa setempat yang masih belia. Istri Karyo meninggal Januari lalu, saat musim panen belum tiba. Mengenai kematian Karsi, istri Karyo, ada beberapa versi yang masih menjadi perdebatan sampai sekarang. Anak-anak RT 11 bilang Karsi meninggal karena diinjak Karsa. Ibu-ibu RT 13 bilang kalau Karsi dicabik-cabik gigi Karsa. Tapi anaknya, Karla meyakini bahwa kematian ibunya karena diserang kucing besar dari hutan saat ingin melindungi Karsa. Yang jelas, kematian Karsi membuat Karyo tak lagi berani memasang pelana di punggung Karsa. 
Pertengahan September tahun lalu, saat Karyo baru saja pulang dari arena pacuan kuda, ia dihampiri beberapa petinggi partai K. Kedatangan mereka ke rumah Karyo dengan membawa dua belas koper penuh uang, dengan harapan bisa membawa pulang Karsa. Semula Karyo terhenyak dengan uang sebanyak itu. Tetapi cinta Karyo pada istrinya, Karsi, melebihi cinta Karsi pada kuda mereka, Karsa. Karsa juga mencintai Karla, putri Karyo dan Karsi. 
Di bawah randu, Karla sedang memberikan makanan kepada Karsa. Karsa tampak gelisah waktu itu. Ia tidak doyan dengan rumput kering macam pemberian Karla ini. Tetapi ia begitu mencintai Karla. Karla pun demikian, ia tak tega melihat Karsa makan rumput kering macam makanan onta. Tapi katul persediaan ayahnya telah habis. Mereka tenggelam dalam diamnya masing-masing. Tanpa Karyo.
Karyo sedang mengecek keseluruhan delman yang baru saja ia selesaikan. Ia meneliti masing-masing baut yang sudah terpasang, memastikan bahwa baut itu sudah terpasang dengan sempurna. Karyo juga tak lupa memeriksa empat senthir yang terpasang di sudut-sudut delmannya, mengisi penuh senthir itu dengan minyak tanah yang ia beli di kota minggu kemarin. 
** 
Karyo tak bisa berbuat banyak hari ini. Ia terlalu lemah untuk menarik seutas tali yang ia kaitkan di leher Karsa. Karla yang melihat ayahnya begitu lemah, segera naik ke atas delman dan mengambil alih kendali atas Karsa dan delmannya. 
Karsa, seekor kuda yang punya naluri tajam macam elang. Sebelum menjadi kuda yang ditugaskan empunya menarik delman, ia selalu berbangga karena ia adalah salah satu dari tiga kuda pacu terbaik di kotanya. Ia sangat dicintai oleh banyak orang, termasuk Karla. Karla tahu, bahwa seekor kuda akan berlari kencang tanpa keraguan jika penunggangnya punya keberanian tinggi, dan seekor kuda tak akan mau berdiri jika penunggangnya masih terlalu takut untuk menungganginya. Karla sudah hafal dengan pelbagai karakter mengenai Karsa di usianya yang masih muda. 
Sekarang, Karla menggantikan ayahnya, Karso, yang terlalu takut menarik kendali kuda dari atas delman. Ia punya keberanian lebih tinggi dari ayahnya yang masih menyayangkan jika Karsa menjadi kuda penarik delman. Tetapi Karyo dan Karla tidak punya pilihan lain. Menurut mitos di daerah Gunung Kidul, seekor kuda yang telah membunuh seseorang tidak boleh dijadikan kuda pacu. Karyo dan Karla pasrah dengan kehendak.
**
Sesore ini, Karla melepas pelana dari punggung Karsa. Lalu ia menyalakan keempat senthir di sudut delman. Karla berkeliling kampung dengan kerudung merah warisan ibunya dengan berkendara delman yang ditarik Karsa.

Kamis, 09 Mei 2013

Rabu, 08 Mei 2013

Apa kau kentut?

Standard
Jika Tuhan memperbolehkan aku untuk kentut, aku akan kentut dengan menggenggam botol kosong, lalu meremasnya, agar bunyi remasan botol itu lebih keras dari suara kentutku.
Kemudian aku akan pura-pura bertanya pada kawan di sampingku, "Apa kau kentut?", tentu saja sambil menutup hidung dengan tangan kiriku. Sementara tangan kananku memegang roti sobek, lalu memasukkannya ke mulut, kemudian mengunyahnya.